Apa Beda HGU dan HGB, Juga SHM?
HGU dan HGB, juga SHM, adalah tiga jenis status kepemilikan tanah. HGU adalah singkatan dari Hak Guna Usaha, sementara HGB adalah Hak Guna Bangunan. Selain itu, ada Sertifikat Hak Milik yang merupakan kepanjangan dari SHM dan bukti kepemilikan seseorang atau badan hukum atas sebidang tanah.
Dalam aturan kepemilikan lahan atau tanah di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UU Agraria. Untuk mengetahui lebih lanjut soal perbedaan HGU, HGB, dan SHM, artikel ini akan membahas:
Apa Itu HGU?
Apa Itu HGB?
Apa Itu SHM?
Beda HGU dan HGB, Serta SHM
Apa Itu HGU?
Menurut Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, HGU bisa diartikan sebagai hak yang diberikan oleh pemerintah kepada perorangan atau badan hukum untuk menggunakan sebidang tanah milik negara, namun hanya dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.
Seseorang atau badan usaha yang berhak memanfaatkan tanah dengan status HGU tersebut nantinya akan diberikan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), melalui keputusan setingkat Menteri. Sementara untuk jenis usaha yang diperbolehkan umumnya seperti peternakan, perikanan, dan sejenisnya.
Hal itu dikarenakan tanah negara yang bisa diberikan sebagai tanah HGU hanyalah yang termasuk dalam kategori tanah atau hutan produksi. Atau artinya hutan lindung dan tanah di wilayah konservasi otomatis tidak dapat dialihkan menjadi tanah HGU.
HGU diregulasi dalam sejumlah aturan, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Pakai Tanah. Dan juga revisi aturan terbaru PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Pada pasal 19 PP tersebut, aturan baru ditambahkan bahwa mereka yang berhak mendapatkan izin HGU adalah hanya Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sehingga jika pemegang HGU ternyata tidak memenuhi kedua syarat tersebut, maka mereka wajib melepaskan haknya pada orang lain dalam jangka waktu 1 tahun.
Pada pasal 22 PP Nomor 18 Tahun 2021 tersebut, perubahan aturan juga terjadi pada jangka waktu izin HGU yang diberikan. Dari yang tadinya maksimal 25 tahun, kini menjadi dalam jangka waktu paling lama 35 tahun.
Setelah jangka waktu 35 tahun tersebut habis, pemegang HGU juga bisa memperpanjang izinnya, paling lama hingga 25 tahun dan diperbaharui lagi untuk jangka waktu paling lama 35 tahun. Baru setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan berakhir, tanah HGU akan kembali menjadi tanah yang dikuasai sepenuhnya oleh negara.
Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara maka penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) PP No. 18 Tahun 2021.
Hak atas tanah HGU juga bisa diambil kembali oleh negara meski jangka waktu pemberian, perpanjangan belum habis, jika memenuhi salah satu kriteria, antara lain tidak terpenuhinya kewajiban pemegang HGU, dilepaskan secara sukarela, tanahnya ditelantarkan, atau dihapus secara hukum dalam putusan pengadilan.
Maka dari itu, pemegang tanah HGU wajib benar-benar memanfaatkan tanah yang diberikan, wajib membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal, memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga pelestarian lingkungan hidup sesuai dengan peraturan. Selain tentunya membayar uang pemakaian HGU ke negara.
Apa Itu HGB?
Masih bersumber dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5 Tahun 1960. Tepatnya di Pasal 35 ayat 1, Hak Guna Bangunan (HGB) didefinisikan sebagai hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang menjadi milik orang lain dalam jangka waktu tertentu.
Artinya, pemegang sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) hanya berhak atas kepemilikan bangunan, tidak termasuk tanah tempat di mana bangunan itu berdiri.
Sama seperti HGU, Selain diatur UUPA, regulasi terkait HGB juga diatur dalam sejumlah aturan turunan seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Dan direvisi oleh PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Revisi aturan tersebut membuat HGB hanya bisa diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Adapun tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan meliputi Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik.
Sementara untuk jangka waktu HGB, seperti diatur pada Pasal 37 PP Nomor 18 Tahun 2021, pada Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan, bisa diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun, dan diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, serta diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Sedangkan HGB di atas Tanah Hak Milik (swasta) bisa diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperbarui dengan akta pemberian Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik.
Berbeda dengan tanah HGU yang jenis usahanya ditentukan, pemegang sertifikat HGB relatif dapat bebas mendirikan dan memiliki bangunan untuk digunakan dalam berbagai keperluan pribadi ataupun usaha, meski tetap harus sesuai berdasarkan perjanjian pemberian HGB di awal.
Selain itu, pemilik juga dapat mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain, asalkan masih berada dalam jangka waktu penggunaan HGB.
Umumnya, lahan dengan HGB ini dimanfaatkan oleh para pengembang untuk mendirikan apartemen ataupun perumahan. Sebab akan ada beberapa kelebihan yang membuat HGB menjadi menarik buat orang yang ingin memiliki rumah atau apartemen, terutama karena harganya yang pasti akan jauh lebih murah daripada membeli bangunan dengan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Meski tidak memiliki kebebasan penuh atas tanah di mana bangunan mereka berada, pemilik sertifikat HGB sebenarnya bisa meningkatkan kepemilikan mereka menjadi SHM. Syaratnya luas tanah harus kurang dari 600 meter persegi, dan mesti dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI).
Jika kedua syarat tersebut terpenuhi, maka pemilik sertifikat HGB dapat mengajukan permohonan kepada Kantor Pertanahan di kotamadya atau kabupaten terkait. Selanjutnya, tinggal mengikuti prosedur yang ditetapkan.
Apa Itu SHM?
Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan tanda kepemilikan penuh seseorang atas tanah, berdasarkan pengakuan dari badan pertanahan nasional (BPN). Berbeda dengan HGU dan HGU, tanah dengan SHM ini kepemilikannya tidak dibatasi oleh waktu dan syarat-syarat tertentu.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 20 UUPA, hak milik atas tanah adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang atas tanah. Sehingga tanah dengan SHM dapat dialihkan sepenuhnya oleh pemilik. Seperti untuk dijual, dihibahkan atau diwariskan secara turun temurun, hingga dapat dijadikan jaminan untuk pengajuan kredit.
Selain itu, pemilik SHM juga mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah tersebut, misalnya memanfaatkannya untuk menjadi tempat tinggal atau bahkan mendiamkannya dalam jangka waktu lama sebagai investasi jangka panjang.
Kekuatan SHM bukan hanya ada pada status kepemilikan atau jangka waktu saja kepemilikan tanah saja. tetapi juga pada keuntungannya dalam investasi properti. Sebab bangunan atau properti yang dijual dengan SHM, maka nilai jualnya akan jauh diatas properti yang dijual hanya dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
[PropertyTip]<strong>Jika berniat membeli rumah dengan niat untuk dijual kembali, ada perbedaan antara SHM dan HGB yang dapat mempengaruhi nilai jualnya di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar